Merbabu berselimut awan - view dari Merapi |
Di postingan
sebelumnya saya menyebutkan kalau " Mudik kali ini sepertinya akan menjadi
cerita tersendiri". Dan benar saja ada satu cerita tambahan yang seru dan
menantang dalam mudik lebaran kali ini. Tepat dua hari setelah lebaran, saya
mendaki Gunung Merapi. Bersama dengan dua teman saya, kami bertiga berusaha
menaklukan Merapi. Keindahannya jangan ditanya. Super!! Tapi, tidak
semudah itu untuk menikmati keindahan Merapi.
The members, the three of us |
Jumapolo-Terminal Boyolali (Sabtu, 10 Agustus
10.00-16.00)
Saya memang sering
mengaku kalau saya orang Solo. Tapi,
jangan tanya saya mengenai jalanan di Solo, angkutan, tempat rute dan
semacamnya. Saya akan menyerah. Rumah saya lebih dari 30 km dari Solo jadi saya
jarang menjamah Solo terlebih angkutannya tidak mudah untuk ke arah Solo ini.
Pun ketika ingin mencapai rumah saya di daerah Klaten yang termasuk di jalur
yang mudah pun, saya harus pusing tanya sana tanya sini.
Memang rada ribet
sih perjalanan ke Selo, Boyolali (starting point pendakian) kali ini. Hal ini
karena saya harus menyesuaikan jadwal teman saya yang ada acara hingga siang.
Salah perhitungan pun terjadi karena saya kira, saya bisa mencapai rumah teman
saya itu dalam waktu kurang lebih dua jam. Pukul 10 pagi saya berangkat tapi
lewat dari pukul 2 siang saya sampai di rumah teman saya. Dari situ, kami
berencana menuju Terminal Boyolali dan mencari angkutan menuju Selo.
Usai sholat ashar,
kami menuju Terminal Boyolali. Dengan menggunakan sepeda motor, kami mengarah
ke jalan raya ke arah terminal. Jauh juga ternyata, ada sekitar 5 km mungkin.
Bukan masalah jarak sebenarnya, lebih kepada waktunya. Semakin sore akan semakin
sulit angkutannya, seperti halnya ke arah rumah saya. Karena hanya
menggunakan satu motor, semakin memakan waktu. Harus bolak-balik. Praktis lewat
dari pukul empat sore kita baru sampai di terminal. Sebenarnya, asal tahu saja,
akan lebih mudah kalo meeting point-nya di Terminal Boyolali saja.
Terminal Boyolali-Cepogo (Sabtu, 10 Agustus
16.00-18.00)
Cepogo itu dimana
ya? Saya juga baru dengar tempat ini. Tempat ini semacam tempat transit untuk
mencapai Selo. Sebelum menuju Terminal Boyolali tadi, saya diberitahu oleh
penduduk setempat kalau ingin mencapai Selo harus mencari angkutan ke arah
Cepogo terlebih dahulu, baru kemudian disambung ke arah Selo. Dan satu hal
pesan dari orang tersebut kalau semakin sore angkutannya semakinjarang atau
bahkan sudah habis. Shocked! We lacked of this info. Cuma bisa berdoa kalau
masih terkejar.
Turun dari bus di
Terminal Boyolali, kami bergegas mencari angkutan ke arah Cepogo. Kerena belum tahu, kami harus bertanya
terlebih dahulu ke petugas terminal. Bapak petugas menunjukkan kalau
angkutannya semacam minibus yang tidak masuk ke dalam terminal, melainkan di
luar. Sampai di luar terminal yang ditujukan oleh petugas, kami tidak mendapati
angkutan yang dimaksud. Beberapa tukang ojek segera menghampiri kami karena
sepertinya tahu kemana arah kami. Kami lebih memilih untuk menghampiri penjual
makanan untuk menanyakan angkutan ke arah Cepogo. Dan benar saja, jam tersebut
bukan lagi jam operasi angkutan ke arah Cepogo. (langsung lemes T__T )
Beberapa saat
kemudian, saya lupa tepatnya dapat info dari siapa, sepertinya bapak-bapak,
yang menyarankan kalau sebaiknya kami mengarah lampu merah yang terletak 2 km
ke arah selatan. Disana, mungkin kami bisa mendapatkan angkutan menuju Cepogo
karena ada kemungkinan angkutan tersebut ngetem. Kami segera mengarah ke tempat
yang ditunjukkan tersebut dengan jalan kaki. Yes, on foot!! Karena itu jalan
satu arah. Lumayan untuk pemanasan, kan? (menghibur diri)
Dalam waktu kurang
lebih setengah jam, kami sampai di perempatan yang dimaksud. Tak perlu mata
kami mencari-cari angkutan yang mengarah ke Cepogo, we looked for people
instead, untuk menanyakan angkutan ke arah Cepogo (karena tidak mau
putus asa dulu kali ya?). Seorang pemuda pemilik counter pulsa di dekat
perempatan tersebut kami jadikan target untuk bertanya-tanya. Kesimpulan
wawancara singkat kami adalah kalau sudah tidak ada angkutan ke arah Cepogo
lagi jam segitu. Dalam 3 km kami bisa mencapai Cepogo atau 5 km lagi sampai
Selo, setidaknya begitulah keterangannya. Tidak jauh seharusnya, saya pernah
berjalan sejauh itu menyusuri jalanan Surabaya. Tapi, dan ini satu tips dari
saya. Jangan mudah percaya dengan perkiraan jarak yang diberi tahu khususnya
oleh orang jawa. Trust me, entah karena menganggap yang jauh itu menjadi dekat
atau ingin menyenangkan si penanya, jarak yang jauh biasanya akan dibilang
dekat. Kalau ingin tahu pasti, sebaiknya ditanyakan berapa menit yang
dibutuhkan kalau berkendara, itu akan lebih deskriptif, just like this info. Saya tidak serta merta percaya. Padahal kedua teman saya sepertinya
percaya-percaya saja.
Satu hal lagi, info
yang berhasil kami dapatkan dari mas-mas penjual pulsa ini adalah bahwa mungkin
kami bisa menumpang mobil ke arah Cepogo. Menurut dia, hal ini lazim dilakukan
para pendaki. So, is it hitchhiking? Oh yes, defintely! Traveling cap jempol sepertinya
seru. Antara sedih dan senang. Namun, kami tak lantas menunggui mobil dan
'memberikan jempol'. Kami lebih memilih untuk melakukannya sambil jalan. Toh
kami sudah terlanjur ada rasa percaya kalau itu hanya sekitar 5 km. Okay, let's
rock!!
Senja di langit
barat mulai menguning, matahari sudah di balik gunung. Tanda patok di pinggir
jalan menunjukkan kalau kami baru saja berjalan 2 km jauhnya. Sudah lupa berapa
kali jempol kami 'lempar' ke jalan. Sebelumnya, kami disarankan untuk menyetop
mobil-mobil semacam pick up atau truk. Karena sudah mulai putus asa dan mulai
capek, setiap mobil kami coba mintai tumpangan. Paling-paling kami sedikit tahu
diri untuk tidak menyetop mobil-mobil 'bagus'. Sementara itu, carrier saya yang
paling berat semakin menguras stamina. Saya meminta sharing air minum karena di
carrier saya empat kali lipat lebih banyak dibandingkan teman-teman saya. Tepat
ketika kami ingin sharing, saat saya menurunkan carrier, ada mobil carry yang
berhenti dan memberikan tumpangan kepada kami. Kami lebih beruntung karena
bukan mobil sayur melainkan semacam mobil carry. Rupanya di dalamnya terdapat
keluarga yang melakukan silaturahim ke saudaranya. Beruntungnya lagi, kami diberi tumpangan tepat
sampai Cepogo. Alhamdulillah.
Tepat saat azan
magrib kami tiba di Cepogo. Tempat ini semacam pasar induk sayuran sepertinya.
Dan mau tahu jarak aslinya dari tempat asal kami jalan tadi? 10 KM!! See?
Terbukti kan pernyataan saya sebelumnya? Untung saja kami tidak jalan sejauh
itu padahal kami baru setengah jalan.
Cepogo- Selo/ Joglo (10 Agustus 19.00-20.30)
Tiba di Cepogo, kami
melaksanakan sholat magrib terlebih dahulu. Usai sholat, kami menambah
perbekalan kami, seperti cemilan, mie instan, minuman instan, bahkan kami
sempat membeli sarung tangan atau kupluk. Beruntungnya disini ada Indomaret
tepat di depan pasar. Jadi cukup memudahkan kalau ingin menambah perbekalan.
Setelah itu,
tantangannya tetap sama, mencari angkutan sampai ke Selo. Well, saya tidak akan
heran kalau waktu itu kami tidak mendapatkan angkutan umum. And, so it was! Di
sekitar pasar tersebut memang banyak orang. Dan melalui orang-orang tersebutlah
kami diyakinkan kalau kami sudah kehabisan angkutan. Masuk akal sih mengingat
hari sudah gelap. Alternatifnya adalah ojek atau menumpang sepertisebelumnya.
Dan berbeda dengan tempat lain yang mudah mencari ojek apalagi di pasar, jam
magrib waktu itu juga sudah bukan jam operasi ojek. Alasannya karena masih
momen lebaran jadi ojeknya sudah tidak ada. Kalau naik ojek, katanya ongkosnya
sekitar 10-15 ribu. Kalau jalan? Ada yang bilang 3 km, 5 km, atau bahkan 7 km.
Sebenarnya saya sedikit percaya karena kalo dikaitkan dengan harga ojek
sepertinya masuk akal.
Persis seperti
sebelumnya, kami lebih memilih untuk berjalan saja sambil mencari tumpangan.
Senter sudah mulai dikeluarkan karena jalanan semakin gelap. Demikianlah
jalanan di pelosok-pelosok desa, lampu jalanannya jarang sekali bahkan tidak
ada atau malahan mati. Dari info yang kami himpun sepertinya kesempatannya
untuk menumpang jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya karena memang waktu
itu adalah waktu aktivitas pengantaran sayur menuju pasar Cepogo tadi. Jadi
mobil-mobil pick up terbuka ini mengantarkan sayur dari gunung. Setelah selesai
mengantarkan sayur, akan kembali k atas lagi dengan kondisi kosong. Inilah
kesempatan untuk menumpang bagi kami.
Setelah jalan
sekitar 1 km kami terhenti di salah satu warung karena disapa oleh penduduk
setempat yang berkumpul di warung tersebut. Lalu, orang-orang tersebut meminta
kami (setengah memaksa) untuk berhenti saja dan mencegat mobil sayur dari situ.
Sepertinya mereka kasihan kepada kami yang hanya bertiga ini berjalan dalam
gelap dan jarak yang jauh. Jarak yang harus kami tempuh memang jauh, another 10
kilos. Kali ini kami cukup percaya karena salah satu orang yang ada disitu
pernah bekerja di Perhutani Gunung Merapi. At last, bukan kami yang berhasil
menyetop mobil melainkan bapak yang ada di warung tersebut. Walaupun tidak
sampai di Selo, it was quite a help!
Tepat sebelum
jembatan yang gelap gulita, kami diturunkan. Bapak yang mengantarkan kami
meminta maaf karena tidak bisa mengantar sampai Selo. Tanpa pikir kami
lanjutkan untuk berjalan, like we did before. Tanjakan setelah jembatan tadi
lumayan tinggi. Kemudian, setelah melewati tanjakan tersebut kami berhasil
mendapatkan tumpangan. Lagi.
Tidak begitu lama,
mobil tersebut berhenti di suatu pasar, saya membaca tulisan Selo. Kami segera
turun tanpa instruksi. Saya mengucapakan terima kasih ke bapak tersebut. Akan
tetapi, dia bilang kalau kita belum sampai. Dia menunggu anaknya yang membawa mobil
juga dibelakangnya. Anehnya kita sudah samspai di tempat yang bertuliskan
'Selo'. Okelah, kami manut saja karena kami tidak tahu. Kami segera naik ke bak pick
up itu lagi.
Cukup lama kami di
atas mobil tersebut, padahal mobilnya juga ngebut. Kami jadi curiga kalau kami
kelewatan. Saat kami bertanya ke bapak tersebut, sebenarnya dia tidak tahu
dimana menurunkan kami yang ingin menanjak Merapi ini. Alamak!! Kenapa baru
bilang si bapak ini? Usut punya usut si bapak menuju Magelang. Bagus!! Lalu
kita dimana? Kita 7 km jauhnya dari Selo dan Selo itu adalah tempat kami turun
sebentar tadi. Begitulah yang disebutkan oleh mas-mas yang kami hampiri tak
jauh dari situ. Bantuan Tuhan ternyata tidak semudah itu,ya? Mau bagaimana
lagi? Kami harus mendapatkan tumpangan ke arah sebaliknya.
Tak perlu waktu lama
ada sebuah pick up melintas. Kami menyetop pick tersebut pastinya. Kami tanyai
apakah bisa mengantar ke Selo dan si sopir mengiyakan, dengan ragu. Ada
penumpang lain di mobil tersebut. Kakek- nenek dengan dua orang cucu yang
menuju Bakalan (saya tidak tahu dimana itu). Tepat di pertigaan dengan plang
'New Selo-Joglo-Magelang-Boyolali' kami turun. Sang Sopir mengatakan disitulah
kami turun, dengan ragu, lagi. Dan, dia meminta ongkos, 10 ribu. Alasannya dia
seharusnya tidak mengantar sejauh itu. Baiklah, it’s okay! Eventually it took
10k from Cepogo just like ojek, didn’t it? :D
Joglo- New Selo (10-11 Agustus, 21.00-01.30)
Starting from this
point, no more kendaraan bermotor! Kita harus jalan kaki. Lima menit dari
pertigaan tadi kita akan melewati gerbang Dusun Plalangan. Lima belas menit
berikutnya akan sampai di base camp untuk registrasi atau jika ingin membeli
souvenir. Kurang dari satu jam sudah sampai di New Selo, ditandai dengan
tulisan 'NEW SELO' layaknya tulisan 'HOLLYWOOD' di US sana.
Kami masih bingung
ingin menanjak kapan. Umumnya orang-orang menanjak tengah malam. Sedangkan saat
itu hanya ada 6 pendaki yang registrasi termasuk kami. Tiga orang sebelum kami,
juga kami temui di New Selo ini. Mereka ingin mendaki saat hari terang. Sedangkan
kami akhirnya memutuskan untuk mendaki pukul tiga pagi. Tapi yang paling
penting kami harus mengisi perut terlebih dahulu. Air panas disiapkan untuk
menyeduh Pop Mie yang menggoda.
Pukul 11 kami
selesai mempersiapkan camp kami. Tenda kami pasang di semacam balai yang ada
disitu. Kami harus segera tidur untuk menghilangkan lelah sekaligus menghimpun
energi untuk mendaki besok. Saya sendiri tak butuh waktu lama untuk terlelap,
karena capek mungkin. Alarm has been set at 3 am.
Pukul 1 pagi,
lapangan parkir New Selo terdengar ramai. Ternyata ada rombongan yang ingin
mendaki, belasan. Ternyata malam itu tidak hanya kami berenam saja yang ingin
mendaki. Para bule ini, ya rombongan yang datang tersebut adalah bule,
sepertinya stayed the night di bawah sana dan diantar dengan pick up ke atas
(memang terdapat homestay di Selo). Saya membangunkan kedua teman saya untuk
mengajak mendaki bareng dengan bule-bule tersebut. Setidaknya terasa lebih
secure karena semakin banyak orang. So, we agreed!
New Selo - Pasar Bubrah (11 Agustus, 1.30 - 8.00)
Dalam waktu setengah
jam kami siap menanjak dan semua perlengkapan sudah re-pack. Rombongan bule
sudah jalan sejak tadi. Treknya, bagi
saya yang termasuk nubie ini, sebenarnya tidak terlalu sulit. Tapi entah kenapa
kami termasuk lambat jalannya. Sering beristirahat.
Pukul setengah tiga
kami sampai di semacam bangunan rumah-rumahan. Sepertinya memang titik untuk
beristirahat. Di sini kami disalip oleh orang-orang Filipina. Ternyata semakin
banyak juga yang mendaki. Dari guide orang Indonesia yang bersama mereka, kami
tahu bahwa perjalanan masih jauh sekali.
Pukul 04.00 kami
baru sampai Watu Gajah. Some say that this is the first post. Orang-orang Filipina tadi ternyata banyak sekali. Saat kami tanya ada 16 orang. Dan
sebagian masih di belakang. Kalau bule-bulenya sepertinya jauh di depan sana. Melewati titik ini, track bebatuan menghadang
di depan kami.
Kumandang azan subuh
ternyata bisa terdengar sampai ketinggian itu. Kami mencari-cari tempat yang
agak datar terlebih dahulu untuk melakukan solat. Saat kami melakukan solat ,
orang filipina melewati kami,lagi. Kami seperti berkejar-kejaran saja :D
Setengah jam
kemudian, langit mulai menampakkan semburat jingga. Beruntungnya kami berada di
titik yang bagus untuk menikmati sunrise. Walaupun meleset, tidak menikmati di
puncak, I thougt that it's okay. And, no words can describe it (just take a
look at the picture! :D ). We stayed for it, about half an hour. I mean, who's
going to miss it?
Pemandangan Gunung Lawu menjelang matahari terbit |
Gunung Merbabu di depan Merapi |
Sindoro-Sumbing di kejauhan |
Lereng Gunung Merapi |
Jalur menuju Puncak Merapi |
Perjalanan masih
cukup jauh. Track mungkin tidak separah sebelumnya, tapi stamina kami semakin
berkurang. Sepanjang perjalanan, pemandangannya luar biasa indah. You know, I
felt like I was going to Mordor like Frodo did :D. Banyak bebatuan, minim
pepohonan. Kalau sudah sampai di padang bebatuan luas, that's what called Pasar
Bubrah.
Pasar Bubrah - Summit Attack (11 Agustus, 8.00-10.00)
Oke oke, sebelumnya
sudah terlalu banyak cerita untuk mencapai Merapi ini. Ya gimana ya? Seru dan
menantang soalnya. Setelah ini biarkan gambar yang bercerita. A picture tells
thousand words, ha? :D
Pasar Bubrah |
Singkatnya, kami memberikan asupan energi ke tubuh kami
dengan mie, lagi. Sulit juga memasak di tengah angin sebesar itu. Usai mengisi
perut lanjut menanjak ke puncak. Kami paksa saja, walau orang-orang sudah
turun, bule-bule, orang filipin, dan yang lainnya yang ternyata sudah tiba
lebih dulu. Dari bawah, terlihat menantang sekali bebatuan itu.
Kita harus menaklukan bebatuan ini kalau mau sampai puncak, be safe! |
Pemandangan Kawah Merapi di puncaknya |
Tak sesulit naiknya,
turunnya hanya tinggal perosotan ria di atas pasir. Seriously, itu mudah sekali
dan singkat. Saat kami turun awan menyelimuti gunung. I bet those who got down
first would regret for missing it. Keren!! Ada untungnya juga turun belakangan.
Negeri di atas awan |
Perjalanan Pulang (11 Agustus, 10.00-21.00)
Perjalanan pulang
tak ubahnya perjalanan datang. Kami ketinggalan angkutan umum. Harus ngojek
dengan ojek super murah, 25k for 20 kilos, sampai Terminal Boyolali lho (perkiraan saya di awal tadi terjawab sudah, kalau salah!). Kok
mau ya? Kitanya itu juga nawar (tega! :D ). Ngojek sampe nangis-nangis (saking
kencengnya, udah lama nggak naik motor sekenceng itu). Sampai di Solo, ga heran
kalau saya kehabisan bus arah Jumapolo. Jadilah ngojek 45k for 20kilos ( lihat tuh
beda harganya, pas ketemu orang di bus malahan harusnya Selo-Boyolali 20rb lho,
ga masuk akal). Seru! Sempurna! Susah itu tidak selalu menyedihkan :D
H+1 Pendakian
Keesokan harinya, muka saya menunjukkan efek terbakar matahari. Kulitnya memerah cenderung gosong dan mengelupas seperti ular yang berganti kulit. Sial.. baru kali ini saya mengalaminya. Sementara itu, di televisi atau di internet saya mendengar kabar tentang pendaki Merapi. Dua orang Jerman dan satu orang Rusia hilang saat mendaki tepat setelah saya turun. Selain itu, ada juga lima orang pendaki yang mengambil jalur yang sama dengan kami, di evakuasi karena ada badai di puncak. Oke, lupakan masalah kulit muka. Harus bersyukur karena masih diberi keselamatan sampai rumah. Alhamdulillah.
H+1 Pendakian
Keesokan harinya, muka saya menunjukkan efek terbakar matahari. Kulitnya memerah cenderung gosong dan mengelupas seperti ular yang berganti kulit. Sial.. baru kali ini saya mengalaminya. Sementara itu, di televisi atau di internet saya mendengar kabar tentang pendaki Merapi. Dua orang Jerman dan satu orang Rusia hilang saat mendaki tepat setelah saya turun. Selain itu, ada juga lima orang pendaki yang mengambil jalur yang sama dengan kami, di evakuasi karena ada badai di puncak. Oke, lupakan masalah kulit muka. Harus bersyukur karena masih diberi keselamatan sampai rumah. Alhamdulillah.
Wow, wow, wow, kereeeen :)
ReplyDeletethank you
Deletekalau menikmati langsung lebih keren :)
wow...mudik lebaran masih sempat mendaki gunung merapi,
ReplyDeletesunrisenya sungguh eksotis di gunung lawu.....benar-benar petualangan yang luarbiasa :-)
terima kasih,,
Deleteperajalanan kemaren itu memang cukup menantang, tapi tetep seru,,