Monumen Pancasila Sakti |
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya. ~ Presiden Sukarno, Pidato Hari Pahlawan 10 November 1961
Terakhir kali saya ke museum ini sudah lama sekali semenjak saya masih sangat kecil. Padahal lokasinya sangat dekat dari rumah. Hanya sepuluh menit dengan mengendarai motor. Setelah sejak lama ingin menengok kembali museum ini, akhirnya saya mengunjunginya lagi beberapa hari yang lalu.
Entah memori saya yang kurang bagus atau lamanya waktu yang berselang sejak terakhir saya ke museum ini. Yang saya ingat hanya sumur, rumah peragaan pembantaian dan monumennya saja. Ternyata ketika saya kembali lagi, bisa dibilang kompleks ini dibagi menjadi dua bagian yakni Museum Penghianatan PKI dan Monumen Pancasila Sakti. Dan benar saja anggapan saya selama ini kalau namanya Museum Lubang Buaya salah. Nama resminya seperti yang saya sebutkan tadi. Sedangkan Museum Lubang Buaya mungkin hanya julukan warga sekitar seperti saya ini.
Dari tempat parkir saya mengamati kalau museum ini sepi pengunjung, tepat seperti dugaan saya. Bahkan saya sempat ragu apakah ingin masuk atau tidak karena hanya saya sendirian saja, tidak ada yang lainnya. Namun akhirnya saya memutuskan untuk memasuki museum dulu daripada monumennya. Dibelakang saya ternyata ada dua orang yang juga memasuki museum ini. "Hmm.. Not bad" pikir saya.
Tampak Depan Museum Penghianatan PKI |
Taman di depan museum |
Gedung museumnya sendiri terdiri dari dua lantai. Sebelum memasuki museum terdapat denah kompleks museum. Di sisi kanan pintu masuk terdapat penjual souvenir museum. Terdapat info di didinding kalau ingin memanggil guide dan menonton film dipersilakan untuk menuju bagian informasi. Saya tentu enggan menggunakan guide karena saya hanya sendiri saja. Saya rasa saya sendiri cukup.
Ini museum dan saya ingin mendapatkan info sejarah dari museum ini. Jadi, saya perhatikan tiap-tiap diorama yang menggambarkan kronologis gerakan-gerakan PKI. Tidak hanya itu, deskripsi yang berada di masing-masing diorama saya baca baik-baik. Deskripsinya sendiri dibuat dalam dua bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Walaupun ruangannya gelap, terdapat beberapa papan petunjuk yang memudahkan terutama bagi pengunjung yang sendirian seperti saya.
Awalnya saya kira kalau diorama yang saya telusuri ini nantinya akan banyak menceritakan sekitar puncak pemberontakan di tahun 1966. Ternyata diorama paling awal menunjukkan bibit-bibit pergerakan PKI dari tahun 1945. Saya sempat ragu karena memang dalam memori saya hanya seputar tahun 1966 itu. Berarti, hari itu saya benar-benar belajar. Sebenarnya tidak hanya diorama yang ada di museum ini, tetapi ada beberapa benda lain seperti baju bendera, atau senapan.
Diorama ilustrasi |
Benda museum berupa pakaian |
Lorong dalam gedung museum |
Tiba saat saya akan menaiki tangga menuju lantai dua, tiba-tiba lorong museum ramai sekali. Ternyata, ada sekelompok anak-anak yang melakukan studi wisata. Tidak hanya dari satu sekolah saja sepertinya. Saya tentu sangat senang melihatnya. Guru-gurunya juga mengikuti di belakangnya. Hal ini sangat bagus, mengenalkan anak-anak tentang sejarah melalui museum. Tapi sayangnya mereka hanya melihat sekilas tanpa membaca baik-baik deskripsinya. Namun, mereka mau berkunjung ke museum saja sudah bagus. dan pada akhirnya, saya ditinggal juga oleh rombongan-rombongan tersebut. Penyusuran sejarah di Museum Penghianatan PKI ini saya akhiri dengan membaca ucapan terima kasih yang tertulis di sisi pintu keluar. Ya.. Museum ini berterima kasih karena saya sudah berkunjung. Seharusnya, sayalah yang berterima kasih atas pengetahuan yang saya terima.
Ucapan terima kasih |
Usai menyusuri sejarah di museum, saya lanjutkan ke bagian monumen. Waktu itu sudah tengah hari. Kompleks depan monumen yang teduh telah diisi oleh pengunjung yang ingin makan siang, termasuk anak-anak tadi. Sekali lagi saya senang melihatnya. Masih ada orang-orang yang ingin menghidupkan museum ini.
Saya langsung menuju ke sumur yang terkenal itu. Sumur yang menjadi tempat dikuburkannya para Pahlawan Revolusi dengan disiksa terlebih dahulu. Sumurnya sendiri telah dibangun dan tentu jauh berbeda dari kondisi saat dulu itu. Saya benar-benar tidak membayangkan kejadian 47 tahun silam. Tidak hanya disiksa tapi juga dikuburkan dengan sangat tidak layak. Dijejalkan dalam satu sumur sempit. Sangat keji. Saya berdoa semoga semua korban kejahatan ini diberikan tempat terbaik di sisiNya. Amin.
Bangunan Sumur |
Papan Petunjuk SUmur |
Adik-adik pengunjung |
Di sebelah sumur, terdapat rumah yang berisi patung-patung yang menggambarkan kondisi penyiksaan -petinggi-petinggi TNI. Beberapa patung diberi tanda masing-masing namanya. Selain itu, terdapat rekaman yang menceritakan kondisi tersebut. Jelas saja saya merinding. Mereka pastilah orang-orang yang hebat. Memiliki keberanian yang luar biasa dan keteguhan hati yang mantap. Pasti beliau-beliau ini berjuang keras demi Indonesia tanpa memikirkan golongannya, keluarga, bahkan dirinya sendiri. Jelas jauh berbeda dengan kondisi masyarakat kita sekarang ini. Semoga semangat-semangat pejuang kita kembali mengisi diri kita demi kehidupan masyarakat kita dan kemajuan Indonesia.
Patung ilustrasi penyiksaan |
Rumah pusat komando PKI |
Teras dapur umum PKI |
Selesai berkunjung ke rumah ini, saya mengunjungi dua rumah lainnya. Rumah berikutnya adalah rumah yang dijadikan pusat komando PKI. Rumah yang satu lagi adalah dapur umum yang digunakan oleh para PKI tersebut. Saya kira rumah ini adalah rumah yang masih sama bangunannya seperti saat dulu. Berikutnya, saya mengunjungi Monumen Pancasila Sakti dimana patung-patung representasi Pahlawan Revolusi berdiri tegap.
Itulah titik akhir kunjungan saya ke Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya.
Note:
- Untuk mencapai museum ini dengan angkutan umum bisa mengguakan Transjakarta koridor 9 turun di shelter akhir Pinang Ranti. Lalu, dilanjutkan dengan menggunakan angkot ke arah Pondok Gede (ada banyak sekali pilihannya)
- Tiket masuk hanya Rp 2500 (tertera di tiket). Tapi waktu itu saya dikenakan total harga Rp 6000 termasuk parkir (terdapat tiket Rp 1000) dan stiker Museum. Waktu itu saya menggunakan motor dan di parkiran masih dikenakan parkir Rp 2000
No comments:
Post a Comment