Pages

Thursday, January 15, 2015

Tangis Karena Cinta (Memori 6)


Saat saya kecil dulu, Bapak dan Ibu merelakan saya untuk diasuh oleh Simbok dan Mbah Kakung. Sementara itu, beliau berdua merantau ke kota layaknya para tetangga kampung lainnya. Sudah biasanya begitu kok. Toh demi keluarga kami, demi masa depan saya nantinya.

Begitu beliau berdua pulang dari perantauan, saya gembira bukan main. Saya tidak tahu apakah kegembiraan yang saya dapati manakala Bapak atau Ibu pulang dari Jakarta itu juga dirasakan oleh teman-teman saya lainnya atau tidak. Lebih-lebih lagi kalau Ibu yang pulang. Saya ini memang "anaknya Ibu", lebih dekat ke Ibu daripada Bapak.

Emm...yang saya maksudkan itu bukan gembira yang sekedar mendapatkan banyak oleh-oleh yang dibawa serta oleh Ibu saat pulang. Ngomong-ngomong soal oleh-oleh,padahal itu paling cuma biskuit dan buah-buahan. Atau kalau sedang beruntung, saya bisa mendapatkan baju baru. Tapi, ada kegembiraan lain yang begitu kuat. Melihat Ibu berada sekitar, saya merasa senang. Saya merasa aman. Seolah-olah tidak perlu menginginkan hal yang lainnya selagi dekat dengan Ibu. Kalau toh ingin apa-apa ya langsung minta Ibu tanpa bingung lagi harus bagaimana-bagaimana to?hehe..

Nah...sekarang saya tahu kalau hal itu lantaran yang namanya cinta. Bukan cinta antara laki-laki dan perempuan itu. Bukan. Kan bentuk cinta tidak melulu yang seperti itu. Yang satu ini sangat spesial. Ikatan cinta ibu-anak. Saya yang sekecil itu saja sudah merasakannya. Rasa yang walaupun saat tidak tahu namanya. Bagaimana kalau jadi Ibu saya yang mengerti lebih jauh tentang perasaan ya? Apalagi ini perasaan cinta dari seorang Ibu kepada anaknya yang kita tahu, kalau diceritakan dimana-mana itu, begitu besarnya perasaan cinta seorang ibu kepada anaknya. Kiranya, kegembiraan ibu saya dulu itu jauh lebih besar dari apa yang saya rasakan. Kelihatannya sih sama saja sepertinya. Dari cara Ibu mencium saya, dari cara Ibu memeluk saya, dari caranya tersenyum yang selalu membuatnya terlihat cantik. Sama saja. Tapi di dalam hatinya, kebahagiaannya jauh berlipat-lipat saat melihat anaknya, ya saya ini. Kebahagian yang sudah tentu tidak seperti saat saya mendapatkan oleh-oleh biskuit atau baju baru itu.

Ah iya...cinta itu sayangnya tidak selalu menghadirkan wujud kebahagiaan. Perpisahan dengan orang-orang yang dicintai kan berujung pada kesedihan. Ada yang mau menyangkal? Dulu, kadang saya sampai menangis hebat setiap kali Ibu akan pergi. Padahal kami sudah sepakat kalau hari itu Ibu bisa berangkat lagi. Tapi, tangis saya tidak bisa ditahan. Kalau ditahan, betapa sesak dada saya. Silakan sebut saya cengeng. Tapi itu karena cinta tadi.

Kalau sudah begitu, Ibu saya akan berusaha menenangkan, 
" Ibu tak berangkat dulu ya le.. Katanya kemarin sudah boleh berangkat hari ini?" 
Perkataannya diucapakan dengan tenang dan lembut. Padahal, ibu sedang menguatkan diri dalam kesedihannya. Kesedihan yang jauh lebih besar dari yang saya rasakan. Kesedihan yang muncul dari rasa cinta antara ibu dan anak. Tidak ada air mata yang mengalir. Tapi saya kira, rasa sesak di dalam dada Ibu, jauh lebih hebat dari yang saya rasakan.

Kemudian saya benci kalau harus mengingat ini, 5 Agustus 2014 di Bandara Soekarno-Hatta. Ada perpisahan lagi yang harus kami alami. Kali ini bukan saya, tapi Ibulah yang menangis. Ibu menangis dalam pelukan saya saat melepas kepergian saya kuliah ke Belanda. Saya tahu kalau saya harus menguatkan diri sebagaimana yang Ibu lakukan dulu. Dan kalau kita sudah mengerti tentang perasaan ini, rasa sesaknya memang luar biasa. Saya kira sesak di dada Ibu saya jauh lebih hebat. Kan cinta ibu selalu lebih besar daripada anaknya. Tidak mudah meredam sesak itu, sekalipun sudah diluapkan dalam tangis. Tangis dalam perpisahan. Tangis karena cinta.

No comments:

Post a Comment