Pages

Saturday, August 16, 2014

Tiket Beasiswa S2 Luar Negeri: Perjalanan Niat

Dulu saya masih ragu-ragu untuk menuliskan hal ini. Ya begitulah..khawatirnya nanti saya sudah panjang lebar menulis di sini tapi beasiswa S2 luar negerinya tidak kunjung saya dapatkan. Kan jadinya malu sendiri.

And here I am... Membuat postingan ini, dengan jarak terpaut jauh dari rumah sekitar 11 ribu kilometer. Saat ini saya berada di salah satu kota di Belanda, Eindhoven. Yeah I did it! That is why saya mulai menuliskan perjalanan saya hingga sampai kemari.

Karena postingan ini postingan permulaan, maka mari kita mulai ke bagian awal perjalanan ini. Niat! Tentang bagaimana saya meniatkan untuk melanjutkan studi S2 di luar negeri.

Dulu sekali, saya tidak begitu mengenal pendidikan sarjana ataupun master. Dalam sejarah keluarga saya, tidak pernah dikenalkan tentang hal itu. Atau bahkan di lingkungan sekitar saya. Background orang tua saya?  Petani dengan ijazah SD yang jelas minim dengan informasi seputar hal ini. Tapi, jalan hidup siapa yang tahu? Tahu-tahu saya bisa lulus sarjana UI.

Satu hal yang paling saya syukuri dari hasil  kuliah di UI adalah perubahan pola pikir yang berubah total. Bisa jadi kalau saya mengikuti arus layaknya teman-teman sebaya saya di kampung, saya hanya berakhir pada pendidikan tingkat SMP atau kalau beruntung SMA. Keinginan untuk belajar setinggi-tingginya semakin kuat. Dan sekalipun saya sudah berhasil kuliah di UI, saya masih merasa ingin untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya. Jujur saja sebenarnya saya tidak begitu mengerti caranya. Budaya dan wawasan saya belum sampai sejauh itu.

Ah ya..Saya juga ingin memberikan pengakuan kalau mungkin ada sedikit ego dalam niatan saya ini. Seumur hidup saya sepertinya belum bisa memberikan apa-apa kepada orang tua saya. Mungkin, dengan membuat mereka bangga, saya dapat sedikit menyenangkan hati mereka. Kali ini pun, saat teman-teman yang lain sudah berpenghasilan kecukupan, saya malah hanya mampu menyenangkan dengan berusaha membuat bangga melalui predikat pendidikan S2 di luar negeri. Oke, tiba-tiba saya teringat sesorang yang kurang mengapresiasi ibu saya yang memiliki anak yang berkeinginan sekolah tinggi. Mari kita buktikan, Bu! Setidaknya sampai saya survive melewati ini. Urusan sukses atau tidak kehidupan kita, itu urusan masing-masing orang,haha..

Well, mari balik lagi..seperti yang saya bilang sebelumnya, wawasan saya tidak sebaik itu. Pola pikir saya kurang begitu matang. Pasca lulus kuliah S1, pikiran saya menuntun saya untuk merasakan dunia kerja terlebih dahulu sebelum melanjutkan S2. Sebenarnya masih berhubungan juga dengan kondisi yang masih awam beasiswa S2 luar negeri sehingga saya tidak bisa langsung melanjutkan S2. Pada saat itu, target saya bekerja selama satu tahun sambil mengumpulkan dan mempersiapkan segala hal tentang S2.

Bagi saya pribadi, keputusan untuk bekerja terlebih dahulu memberikan beberapa keuntungan. Pertama tentunya saya bisa paralel antara mempersiapkan S2 dengan bekerja. Dengan bekerja juga tentunya dapat memberikan penghasilan yang dapat digunakan untuk bekal/persiapan S2 tersebut. Bagi saya ini penting, karena saya sudah berniat untuk tidak meminta bantuan uang sama sekali ke orang tua saya. Kemudian, beberapa hal yang ditemui di dunia kerja bisa dijadikan referensi untuk melanjutkan studi. Begitulah kurang lebih kira-kira. 

Namun, saya lewat dari target saya. Satu setengah tahun akhirnya saya bekerja. Niat saya diuji saat itu antara apakah benar-benar ingin melanjutkan studi atau tetap pada zona nyaman. Memang uang menjadi salah satu godaan yang lumayan. Tapi pekerjaan saya juga cukup menyita waktu sehingga persiapan saya untuk S2 keteteran. Akhirnya saya memutuskan untuk berhenti, mengambil predikat pengangguran yang mungkin tabu bagi lulusan sarjana. Kalaupun tidak, setidaknya saya berpikir demikian saat itu, apalagi setelah beberapa waktu.

Yaa..untuk beberapa waktu. Saat awal-awal pengangguran saya tentunya sangat excited. Puas karena mampu mendobrak batasan diri. Mengikuti pemikiran modern "do whatever you want, do not care what others say". Lebih dari satu tahun menjadi pengangguran bukanlah hal yang mudah. Semakin hari semakin mempertanyakan keinginan saya dan di sisi lain harus menguatkan niat saya terus dan terus. Yea..saya jujur lebih tersiksa dengan predikat sarjana pengangguran daripada soal finansial. Sampai-sampai untuk mengobati rasa bersalah saya juga apply pekerjaan. Galau kalau kata orang. Itulah mengapa saya bilang untuk beberapa waktu. 

Saya yakin siapapun yang berada dalam kondisi tersebut tidak sesedehana kelihatannya. Bagi saya sendiri, obatnya ya dari pikiran kita sendiri. Harus ingat betul niat yang dimiliki dari awal dan dijaga agar niatnya tidak luntur. Khusnuzon kepada Allah kalau pasti akan diberikan yang terbaik pada akhirnya nanti. Jangan sering-serin membandingkan diri dengan orang lain karena itu bukanlah pilihan yang bijak. Ah ya, saya juga menganggap ini sebagai tantangan hidup, ujian dari Allah. Pengalaman pribadi saya, Allah seringkali mempermudah jalan hidup saya, mungkin tidak kali ini. Sehingga saya harus sabar dan berusaha keras untuk menaklukan tantangan ini.

Dan apapun itu, di sinilah saya sekarang dengan jawaban yang paling baik dari Allah, yang juga sangat saya inginkan. Perjalanan niat saya tidak selalu dengan kadar yang sama. Mungkin awalnya hanya setitik kecil, kemudian berapi-api, selanjutnya digerus kondisi, tetap saya sendiri yang harus menguatkannya. Mungkin banyak orang yang percaya bahwa takdir hidup kita sudah dituliskan, tapi bagaimana kalau yang ditulis adalah tergantung dari usaha kita. Sebuah pengingat dari teman saya.



No comments:

Post a Comment