Thursday, May 18, 2017

Kebimbangan Karir

Saya ingat dulu itu, saya memutuskan untuk menjalani hidup saya, dalam hal ini karir, untuk terjun di dunia telekomunikasi. Yang saya punyai semua tentang hal itu. Latar belakang pendidikan, pekerjaan yang telah saya lakukan, semuanya tentang itu. Saya pun masih menginginkan ingin bekerja di bidang telekomunikasi ini karena pemikiran bahwa bidang ini yang telah dan masih akan berkembang dengan cepat. Ingin betul menjadi bagian dari hal itu.

Tapi memang terkadang mau itu belum tentu mampu. Sempat sesekali mempertanyakan apakah benar bidang yang saya pilih ini benar-benar pilihan yang tepat bagi saya. Kan kalau dipikir-pikir lagi, dulu toh saya juga nggak semudeng itu tentang persamaan Maxwell yang jadi dasar elektromagnetik untuk kemudian jadi dasar komunikasi nirkabel. Sepertinya memang didorong oleh takjubnya diri akan bidang telekomunikasi yang semakin hari semakin maju ini. Sudah itu saja. 

Sempitnya pemikiran itu mungkin karena saya masih muda. Tapi kesempitan pemikiran bukannya tidak memberikan konsekuensi. Karena hal itu jugalah saya berkeinginan menempuh pendidikan S2 di bidang telekomunikasi. Dengan mimpi bahwa ingin terus mengikuti perkembangan telekomunikasi, serta mengimplementasikannya di tanah air sedemikian sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan bangsa kita. Begitu kira-kira inginnya saya. Dan boleh jadi karena itu saya mendapatkan beasiswa. Tak tahulah. Mimpi itu terlalu muluk-muluk rasanya.

Lantas apa yang saya dapati dari pendidikan S2 terkait dengan hal ini? Keyakinan saya diuji kembali. Dari apa? Ya dari perkuliahan yang saya ikuti yang semuanya berkaitan dengan dunia telekomunikasi. Susah payah saya mengikuti perkuliahan hanya untuk mendapatkan hasil yang cukup baik. Keinginan untuk menjadi 
"cemerlang" tidak seperti saat S1 harus dikubur dalam-dalam. Usaha keras saya tidak akan membawa saya kesana. Percayalah, saya bukan menyerah. Tahu dimana batas diri kita itu penting. Sehingga kita tidak akan tertarik ke pusaran keyakinan semu yang akan menghabiskan waktu, pikiran dan emosi.

Saya bukannya tidak lagi menyukai bidang telekomunikasi. Saya masih suka betul. Masih mengikuti perkembangan-perkembangan terbarunya. Apalagi dengan kuliah di negara maju seperti Belanda. Exposure akan hal itu jauh lebih banyak dan lebih menarik. Tetapi, kalau sudah masuk ke ranah detil, saya kurang bisa mengikuti dengan baik. Sepertinya saya termasuk ke kategori yang lebih mengerti hal-hal besar terkait teknologi telekomunikasi. Bagaimana kemajuan teknologi-teknologinya. Bagaimana telekomunikasi berkolaborasi dengan disiplin ilmu lain. Bagaimana telekomunikasi membentuk peradaban manusia. Kira-kira demikian itu.

Sementara itu, perhatian saya juga bergeser sedikit, lebih ke arah teknologi itu secara umum. Teknologi-teknologi baru yang semakin memudahkan kehidupan manusia. Saya senang sekali mengikuti perkembangan-perkembangan perusahaan-perusahaan teknologi. Sedikit saja perhatian saya tentang bagaimana teknologi itu bekerja melainkan lebih kepada seberapa jauh teknologi itu memberi kontribusi bagi kehidupan manusia. Sering saya lebih tertarik bagaimana perusahaan tersebut menjalankan strateginya. Jadi yang dipikirkan bukan hanya kontribusinya untuk peradaban kita tetapi juga bagaimana perusahaan itu tetap terus hidup dalam konteks bisnis. Supaya apa? Supaya dapat terus memberikan kontribusinya untuk dunia. 

Sebenarnya bukan hanya tentang perusahaan-perusahaan teknologi yang menjadi perhatian saya. Pada akhirnya teknologi memang telah membuka sisi-sisi peradaban manusia. Salah satunya yang sedang didorong oleh kemajuan teknologi adalah munculnya perusahaan-perusahaan startup. Betapa startup-startup yang bermunculan ini memberikan manfaat yg besar bagi kehidupan kita. Mereka menyelesaikan masalah-masalah yang kita hadapi sehari-sehari dengan cepat. Tapi di sisi lain, bukan berarti startup ini tidak memiliki nilai bisnis yang baik. Justru malah menjadi salah satu lini bisnis yang banyak ditekuni sekarang ini. 

Kemudian, disitulah saya sampai, di persimpangan pilihan berdasarkan apa yang telah saya bangun selama ini yaitu di bidang telekomunikasi, atau banting setir ke hal yang lebih saya sukai, ya tentang dunia startup dan perkembangan teknologi ini. Teknologi secara general, maka dari itu dikatakan banting setir. Sebenarnya, dengan kesadaran kualifikasi teknis yang saya yakini kurang baik, hal ini mendorong saya untuk mengambil karir di generalis kalau nantinya terjun di bidang telekomunikasi. Sementara untuk yang pilihan di perusahaan teknologi atau startup mau tidak mau akan memilih memilih karir di generalis pula. Saya akhirnya condong ke pilihan banting setir itu. 

Telekomunikasi masih menakjubkan bagi saya. Kemajuan teknologinya masih mengesankan. Di situ pun bisa membuka kesempatan kontribusi untuk negeri. Tapi rasa-rasanya butuh waktu yang sangat lama. Bergabung di perusahaan startup sepertinya akan memberikan kepuasan terendiri. Secara karir memberi ruang aktualisasi diri lebih menjanjikan. Serta juga, kepuasan untuk berkontribusi relatif lebih cepat. Bahkan kalau memungkinkan membangun startup sendiri. Akan sangat memuaskan tentunya. Meski banyak keraguan akan hal itu, dilihat dari berbagai segi. Yang mana pilihan ini, terlalu hebat untuk menjadi kenyataan, sehingga saya serahkan total pada Allah karena tidak akan masuk hitungan logika.

Belum lagi memutuskan pilihan rumit ini, ada perihal lain yang harus dipikirkan tentang pekerjaan ini. Dimana nantinya saya akan menjalani pekerjaan yang saya inginkan pada akhirnya. 

Mendapatkan beasiswa dari negara menambahkan beban moral untuk berkontribusi untuk tanah air. Bukan, bukan berarti saya tidak ingin berpartisipasi dalam pembangunan bangsa kalau tidak mendapatkan beasiswa dari negara. Saya kira siapapun itu, putera bangsa, setidaknya-tidaknya terbersit untuk memberikan kontribusinya untuk bangsanya. 

Jujur, saya termasuk yang memiliki keraguan apakah akan segera kembali ke tanah air seusai pendidikan saya. Saya termasuk golongan yang mengamini bahwa kontribusi pada bangsa sebaiknya dilakukan kalau sudah mengambil ilmu dan pengalaman yang cukup banyak dari luar negeri. Yaitu, dengan tidak hanya belajar tetapi juga bekerja di luar sana. Akan tetapi, beasiswa saya dari kementerian keuangan mengharapkan para penerimanya untuk segera kembali ke tanah air seusai studi. 

Keyakinan saya tersebut sempat semakin menguat lantaran Belanda telah membuat saya berpikir bahwa terlalu sayang untuk tidak menggali pengalaman lebih jauh setelah kuliah. Saya yakini akan ada banyak hal yang bisa dipelajari dan dibawa pulang. Sembari waktu berjalan, pengharapan saya adalah adanya perubahan aturan. Aturan dimana akhirnya diperbolehkan untuk bekerja terlebih dahulu di luar negeri. Sampai kemudian, aturan tersebut keluar, ada kesempatan untuk satu tahun bekerja setelah studi. Saya pikir saya akan menggunakan kesempatan itu. Meski setahun saja. Dan berharap ada aturan baru. Masih saja. 

Sampai suatu ketika, saya lupa kapan tepatnya, beberapa bulan sebelum habis waktu pendidan saya, keinginan saya berubah drastis. Saya membulatkan tekad untuk pulang ke tanah air. Mau bagaimana pun, jika memiliki pekerjaan di Indonesia, saya setidak-tidaknya memberikan kontribusi saya. Apapun pekerjaannya, seberapa kecil pun itu. Terdengar omong kosong, ha? Mungkin sebagian betul adanya. Perubahan pilihan saya dikarenakan oleh beban moral yang saya pikul. Saya tidak ingin merasa berdosa. Dengan uang sebanyak itu yang diberikan, saya kira tidak ada orang di dunia ini yang akan berkenan memberikan uang sebanyak itu kepada saya. Lebih-lebih lagi orang tua saya, punya uang sebanyak itu pun tidak. Itu uang rakyat, yang bahkan tidak mengenal saya, yang bisa jadi tidak tahu kalau uangnya dipakai untuk membiayai pendidikan orang-orang macam saya. Mungkin bagi beberapa orang, itu bukan uang yang banyak. Tapi bagi saya, itu banyak sekali, terlalu banyak malah.

Saya tidak sanggup menanggung hutang ini dengan tinggal di tanah asing. Saya ingin segera memberikan kembali apa yang telah saya miliki: waktu, tenaga, maupun pikiran. Karena itulah saya pulang. Mau jadi apa nantinya, saya pikir kalau dorongannya adalah hal baik, Allah akan memberikan jalan. 

Setidak-tidaknya satu pilihan telah ditentukan. Tentang dimana. Tentang apa yang akan dilakukan, masih berkutat lama dalam pikiran. Dan bukannya semakin jernih, justru semakin membingungkan hingga ujung waktu pendidikan. Seingat saya itu adalah momen paling membingungkan dalam kehidupan saya selama ini. 

Kebingungan ini bahkan saya bawa ke tanah suci, sebelum pulang ke tanah air. Saya mohonkan kepada Allah untuk diberi pencerahan jalan mana yang harus diambil. Saya serahkan sepenuhnya kepada Allah apapun jalannya akan saya terima. Saya mencoba netral dan tidak condong pada pilihan yang manapun.

Jawaban akan hal ini saya dapati dalam 6 bulan pertama dari kepulangan saya. Allah memberikan skenario yang sedikit tidak disangka-sangka tapi tentunya yang paling baik. Toh, selalu seperti itu. Dan meski hanya enam bulan lamanya, itu merupakan tempaan berarti bagi diri saya. Dan lagi-lagi, tidak ada alasan untuk tidak mensyukuri ini. 

~bersambung...

Friday, May 12, 2017

Hal-Hal Besar Yang Disyukuri di Tahun 2016

Dalam kesempatan kali ini saya ingin menuliskan beberapa hal besar yang telah saya capai tahun lalu. Terlalu banyak hal yang bisa harus disyukuri. Namun, kali ini saya akan menceritakan tiga hal yang paling berkesan yang terjadi dalam tahun lalu:

1. Lulus Pendidikan S2
Melanjutkan pendidikan hingga tingkat master, di luar negeri,  adalah mimpi saya. Mampu menyelesaikannya berarti saya telah berhasil mencapainya, bukan lagi mimpi. Satu daftar mimpi saya akhirnya bisa di-check. Perjalanan menyelesaikan pendidikan master ini menjadi catatan untuk diri sendiri bahwa kita mampu meraih apa yang kita inginkan asalkan memiliki keinginan dan usaha yang kuat. Selain itu, ini akan menjadi pengingat kuat, bahwa kita harus berpegang pada mimpi-mimpi kita. Meski itu terlihat sulit dan mustahil. Kekuatan mimpi tidak boleh dipandang sebelah mata. 

Sesaat saya mendapatkan beasiswa, belum bisa dibilang telah menggapai mimpi tersebut. Saat itulah perjuangan dimulai. Dan sayangnya bekal saya tak cukup banyak. Begitu menurut saya. Melewati hari-hari kuliah S2 ternyata tidak semudah yang saya bayangkan sebelumnya. Ada hari-hari dimana sangat berat untuk dijalani. Namun akhirnya, perjuangannya berbuah manis. Saya bersyukur dapat menyelesaikannya. Terlebih mampu melewati masa-masa sulit yang ada. Ini menjadi pelajaran tersendiri bagi saya. 

Akhirnya, kini saya bisa bilang bahwa saya telah mencapai mimpi saya tersebut. Saya bersyukur karena mampu menyelesaikannya. Saya juga bersyukur karena saya mampu melewati masa-masa sulit yang ada bersamanya. Saya pun bersyukur atas seluruh pelajaran yang saya dapatkan selama studi tersebut.

2. Menunaikan Ibadah Haji
Kalau yang satu ini jelas salah satu mimpi. Bukan hanya bagi saya, tapi juga bagi ummat muslim pada umumnya. Alhamdulillah, segala puji kepada Allah, Tuhan semesta alam, mimpi ini terjawab tahun lalu dengan tidak disangka-sangka. Saya tidak pernah terpikir kalau saya mampu menunaikan ibadah haji saat usia masih muda. 

Keinginan untuk menunaikan ibadah haji sudah terbersit sejak sebelum berangkat melakukan studi. Saya tahu ada rekan yang menunaikan ibadah haji usai studinya. Saat itu, saya hanya meniatkan saja, kalau memungkinkan saya juga ingin menunaikan ibadah haji selepas kuliah. Waktu itu saya hitung-hitung waktu pelaksanaan haji tepat setelah waktu kelulusan. Jadi seharusnya dari sisi waktu tidak masalah kecuali kalau kuliahnya tidak selesai tepat waktu. Untuk hal lainnya saya serahkan sepenuhnya kepada Allah. 

Dalam perjalannya memang niatan tadi tidak lantas semakin bulat. Ada kendala perkuliahan yang membuat saya mengesampingkan niatan itu. Ada info-info yang belum saya tahu untuk melakukan ibadah haji dari negara orang. Ada kekhawatiran masalah uang yang sudah sewajarnya memang tidak sedikit biayanya. Yang saya lakukan hanya sebatas berdo'a dan pelan-pelan menyisihkan uang saku.

Memang rencana Allah itu selalu paling baik. Dalam hal ini malah jauh lebih baik dari yang saya harapkan. Aktivitas perkuliahan diberi jalan terang oleh Allah. Info pelaksanaan haji juga demikian mudah sampai ke saya. Sedangkan untuk urusan finansial, Allah membantu dengan jalan melakukan kesempatan internship di perusahaan. Alhamdulillah biaya keberangkatan haji hampir tertutupi oleh total gaji selama saya melakukan internship. 

Akhirnya, dengan izin Allah saya mampu menunaikan ibadah haji tahun lalu. Alhamdulillahirrabbil'alamin.

3. Melakukan Internship di Perusahaan Belanda
Mengenai target perkuliahan, ada beberapa hal yang melenceng dari apa yang telah rencanakan sebelum melakukan studi saya. Salah satunya melakukan internship di perusahaan. Opsi ini tidak saya perhitungkan dalam kegiatan perkuliahan saya. 

Sebelum saya berangkat, saya sudah merencanakan untuk memperluas wawasan saya di bidang telco. Background yang saya miliki lebih condong ke wireless communication. Saya bertekad untuk belajar optical communication dan ingin mendalaminya di lingkungan laboratorium. Setidaknya demikian niatan saya.

Seiring berjalannya waktu, teknologi wireless semakin menarik bagi saya terutama karena ada cabang ilmu wireless sensor network (WSN). Sementara itu,  saya tidak bisa perform sebaik yang saya kira di bidang teknologi optik. 

Seperti didukung oleh semesta akhirnya saya mendapatkan peluang untuk melakukan penelitian terkait dengan WSN. Belum lagi saya melakukannya di salah satu perusahaan terbesar di Belanda. Saya melakukan internship saya di ASML, salah satu perusahaan pembuat mesin lithography terbesar di dunia. Hal ini menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi saya. Saya belajar hal yang saya senangi di sebuah perusahaan dengan reputasi yang sangat baik. Dari situ, saya belajar banyak sekali. Walaupun tadinya saya mengharapkan untuk mengerjakan penelitian di laboratorium. Saya kira memang pada akhirnya itulah yang saya butuhkan. Saya juga mendapatkan uang tambahan untuk sehingga menjadi tambahan tabungan untuk melakukan ibadah haji. Sekali lagi saya disadarkan memang segalanya sudah diatur oleh Allah dengan cara yang paling baik. 

Ketiga hal tersebut adalah sebagian nikmat yang paling berkesan diantara nikmat-nikmat lainnya yang saya peroleh saat menjalani studi S2. Allah telah mengajarkan banyak hal dan jauh lebih baik dari yang diharapkan. Tahun lalu menjadi penutup dari perjalanan perkuliahan saya yang menyisakan pengalaman yang sangat berharga. 

Tuesday, April 26, 2016

Salam Rindu Untuk Ibu

Akan ada banyak hal yang membuat kita rindu atas apa yang kita tinggalkan di tanah air sana di kala kita menjalani pendidikan di negeri orang. Barangkali makananya, suasananya, teman, atau keluarga? Ya keluarga. Ijinkan saya berbagi sedikit cerita tentang kerinduan kepada keluarga yang terpaut jarak belasan ribu kilometer di sana. Perbedaan jarak dan waktu menciptakan kerinduan. Sementara rindu memicu pikiran untuk mengenang. 
Sudah sedari kecil saya lumayan sering terpisah dari orang tua. Dari semenjak usia lima tahun kalau tidak salah ingatan saya. Dalam perjalanannya, beberapa kali saya harus terpisah kota, provinsi, hingga terpisah pulau. Tapi, butuh waktu 20 tahun hingga sekarang ini, bahkan harus berada di benua berbeda, dengan konsekuensi perbedaan waktu yang ada, untuk dapat mencerna betul sekuat itu hubungan yang dinamakan cinta akan keluarga, lantaran rindu yang tercipta.
Syukur alhamdulillah kedua orang tua saya masih sehat wal’afiat hingga saat ini. Semoga Allah selalu melimpahkan kesehatan dan kebahagiaan kepada beliau berdua. Kali ini, saya secara khusus akan bercerita tentang Ibu, sosok yang sangat saya cintai dan saya hormati, yang tanpanya tidaklah mungkin saya sampai di titik ini, tanpa mengesampingkan andil dan perjuangan bapak tentunya. 

Restu Ibu (Orang Tua) adalah Restu Allah SWT
Ibu saya itu berlatar pendidikan sekolah dasar, pun demikian dengan bapak. Cerita akan kehidupan sekolahnya dulu menjadi dongeng sebelum tidur tapi juga menjadi cerita pemupuk semangat untuk sekolah yang tinggi. Bahwa sekalipun memiliki keinginan bersekolah, ada banyak hal yang pada akhirnya membuat pendidikan sekolah dasar saja “cukup”. Setidaknya untuk zaman itu. Dan di lingkungan itu. Sekitar dua puluh tahun berikutnya, di saat generasi saya bersekolah, keadaan tak berubah signifikan. Pendidikan sekolah menengah pertama dirasa “cukup”. Lahir di lingkungan yang minim informasi akan pentingnya pendidikan membuat keluarga kami memiliki kecenderungan mengamini pemikiran masyarakat pada umumnya.
Nasib agaknya membawa saya lebih jauh, perjalanan pendidikan saya tidak terhenti sekedar menuntaskan “pendidikan wajib belajar sembilan tahun”. Ketika saya sampaikan ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA, orang tua saya merestui keinginan tersebut. Tingkat pendidikan SMA ini saja sudah termasuk awam bagi kedua orang tua saya. Saya ingat betul kalau saat itu saya harus mendaftarkan diri ke sekolah SMA tanpa didampingi orang tua. Yang mengkhawatirkan bukanlah jarak yang jauh dari desa ke kota. Tapi, kalau-kalau ada kebutuhan yang harus ditangani orang tua saat pendaftaran, bisa apa bocah sekecil saya? Tiga tahun sebelumnya, ibu mendampingi bahkan sampai di bangku ruang kelas. Tapi, tidak ada lagi untuk kali berikutnya. Itu titik pertama saya, bahwa saya percaya dengan restu dan doa orang tua, saya masih bisa meraih pendidikan saya. 
Terkadang takdir itu memang lucu, setelah masuk selang berapa minggu setelah diterima di SMA, saya harus pindah SMA. Saya mengambil kesempatan beasiswa pendidikan SMA di Jakarta. Untuk meringankan beban orang tua, demikian pikir pendek saya. Menjelang akhir kelulusan SMA, saya mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi ke tingkat sarjana. Menjadi permasalahan tersendiri ketika kami sekeluarga semakin awam akan tingkat pendidikan ini. Saya pun sebelumnya tidak pernah terbersit untuk melanjutkan kuliah. Sama sekali.  Pendidikan SMA saya kira sudah lebih dari cukup dengan mindset saya saat itu. Padahal itu sudah tahun 2007.
“Bayaran 27 juta itu pakai uang siapa nanti, lé? Ibu tidak punya uang sebanyak itu.”, demikian respon ibu saya ketika saya beri tahu jumlah uang biaya masuk kuliahnya.
“ Nanti kita datang saja dulu saat daftar ulang ya, Bu. Kalau memang harus bayar semahal itu, saya langsung tidak melanjutkan kuliah. Yang penting sekarang diperbolehkan dan mohon doanya saja.”, timpal saya dalam percakapan melalui telepon saat itu. Saya masih ingat betul saat itu saya langsung menelepon ibu seketika setelah mendapatkan surat untuk daftar ulang beserta besaran biaya awal masuk kuliah.
Terus demikian hingga sekarang, saya hanya berbekal restu orang tua dan sedikit kenekatan diri sampai akhirnya mengenyam pendidikan S2 saat ini. Keluarga saya bukan keluarga terpelajar dan cukup untuk membiayai pendidikan saya hingga saat ini. Sejak dari bangku SMA hingga saat ini, pendidikan saya selalu diberi jalan melalui beasiswa. Menengok kembali ke belakang, satu poin utama yang saya yakini adalah restu orang tua. Seringkali kita dengar cerita tentang pendidikan tinggi yang diraih adalah dengan otak cerdas atau perjuangan keras. Dalam kasus saya, yang saya percayai betul bahwa ini adalah buah dari doa restu dan dukungan orang tua. Karena restu orang tua, Allah memudahkan seluruh perjalanan saya hingga pendidikan saat ini.

Perjuangan Menyokong Kebutuhan Keluarga
Tak pernah sekalipun, sejauh pikiran saya mencoba membayangkan, mampu memahami kerasnya perjuangan Ibu saya. Termasuk di dalamnya perjuangan secara fisik maupun mental. Dulu, karena mengikuti arus lingkungan sekitar, kedua orang tua saya merantau ke kota, Jakarta, dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga kami. Ibu berjualan jamu, sedang bapak saya sebagai penjual mie ayam. Tipikal pekerjaan yang dipilih perantau yang berasal dari kampung halaman saya, Solo. Jadilah, sejak kecil saya sudah tinggal bersama mbah kakung dan mbah putri. Layaknya kebanyakan teman sebaya juga. 
Bicara soal ibu yang berjualan jamu, inilah yang saya pikir sebagai perjuangan berat. Setiap hari, ibu berjualan jamu yang digendongnya, berjalan kaki dari hunian kampung sampai kompleks perumahan. Entah berapa kilometer jauhnya, yang pasti ibu berangkat dari pukul tujuh pagi sampai pukul satu tengah hari. Terkadang saya dapati ibu pulang dengan basah karena keringat saat matahari sedang terik-teriknya. Atau di lain waktu, kain jariknya basah kuyup karena air hujan atau banjir di jalur kelilingannya. Beberapa cerita dibagikan ke saya sesampainya di rumah seperti: “Jamunya ndak habis, terus ibu buang saja karena sudah siang.” Atau “ Ibu tadi ndak berani nyebrang sungai, ibu takut karena airnya terlalu tinggi. Terus nanti kalau ndak bisa pulang ya gimana?” Cerita ibu seperti itulah kadang kala yang saya dengar.
Kondisi berubah ketika simbah sedang sakit ditambah dengan lahirnya adik saya. Saat itu saya masih SMP. Hanya bapak yang merantau ke Jakarta. Saat itu, saya lihat betul betapa luar biasa ibu saya mengurusi kami semua. Mulai dari mengurusi simbah yang sakit, adik saya yang masih bayi, termasuk saya yang sekolah juga. Urusan sawah tak ketinggalan menjadi pengawasan ibu juga. Sebelumnya, urusan sawah itu masih bisa ditangani oleh kedua simbah saya dengan baik. Berhubung simbah sakit, kami semua harus bekerja ekstra untuk kehidupan keluarga.
Saat itu juga adalah saat-saat kondisi finansial keluarga kami memburuk. Ibu harus mencari cara untuk menambah penghasilan. Ibu mengusahakan apapun yang bisa dijual hasil dari kebun. Pernah sekali waktu, saat itu sedang musim biji mete yang menjadi salah satu hasil kebun untuk kami jual. Tiap beberapa hari sekali kami mengambil hasilnya. Tidak jarang kami membawa serta adik saya yang masih bayi untuk ikut ke sawah. Suatu saat pengawasan kami sempat lengah sehingga adik saya  merangkak ke bibir jurang. Beruntung kami melihatnya sebelum adik saya terjun ke jurang itu. Seingat saya, kami bukannya khawatir berlebihan, malah menjadi “kenangan yang menghibur” kalau mengingat cerita itu. Meski kemudian saya paham, bahwa hal itu bukanlah perjuangan sepele. Ibu yang saat itu, telah mempertaruhkan banyak hal di dalam perjuangannya.
Bagaimana kalau sekarang? Ibu tetap melakukan pekerjaan menjual jamu itu, hingga hari ini. Sejak saya mau masuk kuliah, ibu terus berusaha keras menyokong kebutuhan sehari-hari saya meski tanpa harus memikirkan biaya kuliahnya. Ada adik saya juga yang masih harus dipikirkan kelanjutan pendidikannya. Saya pikir ibu tetap akan terus berjuang di jalan itu hingga saya menyelesaikan pendidikan ini dan menyokong kebutuhan keluarga. Saya tidak tahu kapan ibu akan berhenti dari rutinitas pekerjaan ini. Setiap kali saya bertanya, “kok sudah ke Jakarta saja?”. “ Ya daripada di kampung tidak ada kegiatan, le”, demikian jawab ibu saya kalau tidak ada pekerjaan terkait masa panen atau cocok tanam di sawah. Jawaban yang sepertinya diharapkan agar saya tidak terlalu ikut memikirkan keluarga saya.  

Pengorbanan Untuk Berpisah Dari Anak-anaknya
Memisahkan ibu dari anaknya menjadi hal yang berat bagi keduanya. Sang anak akan kurang mendapatkan kasih saya ibu. Selain itu, peran ibu sebagai pendidik juga tidak didapatkan. Saya yang dulu menerima kondisi itu dengan wajar karena saya pikir memang begitulah cara kami hidup. Karena memang yang demikian itu lazim adanya di lingkungan hidup bermasyarakat di kampung halaman.
Hampir setiap kali ibu pamitan untuk berangkat ke perantauan, saya selalu menangis. Dari menangis tertahan dan sesenggukan sampai menangis histeris. Sebagai anak kecil saya hanya berpikir kalau cuma saya yang sedih tapi tidak dengan ibu saya. Tentu kemudian akhirnya saya pahami bahwa hal itu tidak benar. Meninggalkan anaknya untuk kemudian diasuh dan dididik bukan oleh tangannya sendiri, memerlukan tekad pengorbanan yang kuat. Kesedihannya saya yakin jauh lebih besar dibandingkan dengan kesedihan saya. Tangis seorang anak kecil bisa saja diredam dalam hitungan jam. Sedangkan ibu, segala perjuangan sehari-harinya diharapkan menjadi cara untuk melupakan kesedihan itu. Ditambah lagi, bukan hanya dengan saya, ibu juga harus melakukan pengorbanan yang sama kepada adik saya. Pengorbanannya semata-mata karena ingin menyekolahkan anak-anaknya semampu yang ibu bisa. 
Tak pernah sekalipun saya  dapati ibu saya mengeluh bahkan menitikkan air mata untuk melalui segala pengorbanan ini. Saya melihat teguhnya kekuatan yang ditunjukkan dengan pengorbanan itu. Saya yang sekarang ini masih tidak sanggup memahami seberapa besar kekuatan yang dibutuhkan bagi ibu untuk semua itu. Sangat besar kiranya.
Kemudian saya teringat saat dimana kekuatan itu tak mampu menahan kesedihan ibu. Saat dimana saya diantar di bandara sebelum perjalanan studi saya. Sampai sesaat saya hendak boarding, ibu masih terlihat biasa saja. Saat tiba pamitan terakhir, ibu tidak kuasa menahan tangisnya. Sejujurnya saya sedikit kaget melihat ibu menangis, salah satu tangis ibu yang terkuat yang pernah saya lihat. Saya tahan diri saya kuat-kuat untuk tidak melihat wajah ibu saat itu. Tangisnya semakin kuat ibu memeluk saya.  Di dalam pelukannya yang erat, saya rasakan betul bahwa perpisahan itu berat bagi ibu. Dari linangan air matanya, dari nafasnya yang tak beraturan, dari suara tangisnya yang sesekali tertahan.  Saat itu saya sadar kondisi telah bertukar, saya yang dulu selalu menangis jika ditinggal ibu, menjadi harus menahan air mata sekuat-kuatnya untuk meninggalkannya.  

Kebahagiaan untuk Ibu
Setelah apa yang saya lalui sejauh ini, sejujurnya saya tidak tahu betul apa yang membahagiakan ibu saya. Walaupun tentu saya akan berbuat apapun sebagai seorang anak untuk membuat ibunya bahagia. Tidak pernah kami berbincang tentang konsep bahagia seperti apa yang ibu inginkan. Kalau sekiranya memang ingin hidup sewajarnya layaknya lingkungan sekitar, tentu saya tidak akan diarahkan untuk terus sekolah. Demikian juga halnya kalau materi menjadi parameter bahagia,  saya kira ibu tidak akan merestui untuk melanjutkan studi ini. Selalu dan selalu ibu berkata, “ Ibu ndak mengerti apa-apa, kalau menurut kamu itu baik, ibu hanya bisa merestui dan mendo’akan.” Dan apakah ibu saya bahagia semata karena memberikan kebebasan pilihan dalam koridor kebaikan tersebut? Entahlah. Tapi Jika memang demikian adanya, saya tentu bersyukur jika pilihan-pilihan hidup saya itu membuat ibu bahagia.
Pada dasarnya, selain karena memang mimpi pribadi, pilihan saya untuk melanjutkan studi sampai di Belanda ini merupakan cara saya untuk membahagiakan ibu. Bahagia karena bangga mampu mengantarkan anaknya sampai titik ini. Bahwa dirinya dulu harus bekerja keras untuk menuntaskan pendidikan sekolah dasarnya, namun kondisi itu tidak perlu lagi dilalui oleh anaknya. Bahwa pendidikan memang pilihan bekal yang tepat bagi anaknya meski harus menjadi berbeda dengan lingkungan sekitarnya. Itu yang kiranya ingin saya persembahkan kepada ibu dengan menuntaskan pendidikan saya. Sementara belum banyak bantuan materi yang saya berikan, saya harap ini menjadi salah satu cara membahagiakan ibu.
Pada akhirnya, hal terpenting yang saya maknai betul adalah tentang ikatan kami. Tanpa studi di luar negeri, saya kira ikatan saya dan ibu tidak akan sekuat ini. Belum pernah saya dapati kecintaan pada ibu, dan keluarga, sebelum saya hijrah ke sini. Saya dan ibu, tidaklah seperti kekhawatiran saya dulu, yang akan memiliki ikatan kaku dan kurang terbuka karena tumbuh di lingkungan suku Jawa. Saya sebagai anak bisa leluasa menceritakan apapun. Sedangkan ibu juga tidak segan meminta pertimbangan dari anaknya. Dalam perbincangan kami, ibu selalu terdengar berusaha mengikuti topik yang saya sampaikan. Sekalipun itu hal yang awam baginya. Saya pun belajar mendengarkan cerita ibu, tentang apapun itu serta menyampaikan dengan sabar hal-hal yang terdengar tidak lazim baginya. Melihat perkembangan ini membuat saya bahagia. Yang berkembang dan belajar sejatinya bukan hanya saya. Ini bukan lagi tentang pendidikan saya seorang, tapi pelajaran bagi saya dan ibu, serta Bapak dan adik saya, tentang peningkatan diri, tentang ikatan dan cinta dalam keluarga. Saya sangat bersyukur dan bahagia dapat memaknai hal ini. Saya harap demikian pula dengan ibu. Ibu mampu berbahagia, bukan hanya karena melihat pencapaian anaknya, tetapi juga kemajuan yang ada pada dirinya.

Penutup
Pada akhirnya, ibu juga tidak dapat membaca tulisan ini. Jangankan internet, ibu baru mau menggunakan HP beberapa tahun lalu. Namun, biarkan saya mencatat kisah seorang ibu yang menjadi pendorong utama pendidikan anaknya.
Saya bukan seorang brilian dengan berbagai prestasi. Tapi dengan restu ibu, kaki saya mampu sejauh ini melangkah. Saya bukan seorang yang bekerja dengan gigih. Tapi dengan mengingat perjuangan dan pengorbanan ibu, saya mampu bertahan sedikit lebih lama. Saya bukanlah seorang berpendirian teguh. Tapi dengan dukungan semangat dan do’a ibu, segala urusan dengan baik terlewati. 
Satu hal yang pelajari betul-betul dan perlu saya ingat adalah bahwa ibu selalu ada dalam perjalanan hidup saya. Apapun yang ibu lakukan, memiliki andil dalam setiap perjuangan saya. Selalu. Setiap waktu. Semoga semuanya lancar dan saya dapat berjumpa dengan ibu, dalam kurun waktu yang tidak lebih dari lima bulan lagi. Aamiin.


Note: Tulisan ini juga dipublish di website PPI Belanda: http://ppibelanda.org/salam-rindu-untuk-ibu/

Thursday, April 14, 2016

Perubahan Pola Pikir Yang Musti Dibangun dalam Pendidikan Generasi Setelah Kita

Sepertinya memang sulit dipungkiri kalau dunia ini sedang bergerak dengan cepatnya. Sementara saya malah jadi bernostalgia kalau melihat apapun berbau era 90an, anak-anak sekarang, remaja ke bawah, melihatnya seperti hal kuno. Bisa-bisa tidak mengerti sama sekali dengan hal-hal itu sekalipun hanya terpaut satu dekade. Saat generasi saya senyum-senyum mengenangnya, anak-anak ini tidak mengerti maksudnya apa. 

Di lain cerita, teman-teman sebaya saya yang sebagian sudah memiliki momongan membuat grup whatsapp, facebook, dan sederet lainnya, ramai akan tips ini-itu dalam mengasuh, membesarkan, mendidik anak mereka. Seringkali saya enggan bergabung dalam diskusi-diskusi itu. Tapi, ada beberapa topik yang dapat menggerakkan perhatian saya, bilamana topik yang diangkat adalah mengenai pendidikan anak-anak. Setidak-tidaknya saya masih punya keingintahuan tinggi sampai rela baca kalau ada artikel terkait atau ikut serta diskusi jika ada yang membahasnya.

Sistem pendidikan anak-anak kita sekarang ini sepertinya memang harus diubah. Yang ingin saya tekankan di sini adalah output dari sekolah yang ada malah ingin membuat pola pikir yang seragam dan kurang kreatif. Selain itu, tentang nilai-nilai agar diri mereka ada untuk menciptakan dunia yang lebih baik juga kurang ditanamkan di sistem pendidikan kita. Sepenglihatan saya, selain dunia ini semakin maju, yang paling kelihatan jelas adalah kemajuan teknologinya, di sisi lain ada nilai-nilai kehidupan yang mengalami kemunduran. Nilai-nilai sosial kemanusiaan sepertinya meredup dan tidak bisa mengimbangi kemajuan teknologi tersebut.

Tempo hari saya mendapati video TedTalks dimana yang melakukan presentasi adalah dua orang anak-anak perempuan. Okay, bukan sekedar anak-anak, tapi anak-anak dari Indonesia, Bali tepatnya. Saya terharu dan kembali merasa penuh harapan melihat apa yang mereka perbuat. Jadi, mereka itu menjalankan proyek untuk melarang kantong plastik di daerah mereka. Tujuannya tentu mengurangi sampah plastik yang mencemari lingkungan. Itu jelas bukan proyek sepele. Dan mohon diingat kembali mereka masih anak-anak. Sekalipun mereka mengerjakan proyek yang lebih sepele dari itu, tapi dengan niatan dan pola pikir yang sama, saya sangat mengapresiasinya. 

Lantas saya teringat contoh lainnya lagi, ada seorang anak warga negara Belanda yang memiliki tekad untuk membersihkan lautan dari sampah. Namanya Boyan Slat dengan proyeknya diberi nama "The Ocean Clean Up". Usianya masih remaja saat dia memulai proyek itu. Ide yang dipikirkannya disambut baik oleh berbagai pihak dan didukung secara penuh tanpa melihat usianya yang masih muda.

Tenang, saya masih ingin menceritakan dua temuan saya dari TedTalks. Masih terkait dengan misi penyelamatan lingkungan, saya mendapati seorang guru yg memberikan pengajaran yg sangat berbeda dari biasanya. Misi awalnya adalah memberikan pola pengajaran agar sains menjadi hal yang menarik bagi anak-anak. Anak didiknya masih setingkat sekolah dasar.  Pengajarannya menggunakan problem based berupa proyek. Penyelesaian masalahnya menggunakan instrumen-instrumen sains. Selain menyenangkan, anak-anak itu bisa melihat secara langsung hasil akhir dari apa yang dia kerjakan. Proyek yang mereka kerjakan termasuk penanganan air bersih di Bangladesh dan ledakan reaktor nuklir Fukushima, yang mana merupakan masalah yang jauh dari tempat mereka berada.

Yang terakhir adalah seorang anak kecil yg menerapkan istilah hackschooling. Seorang anak kecil yang sudah tahu betul ingin apa kelak besar nanti. Dia sudah sadar mengenai pendidikan saat ini yang perlu adanya perubahan karena menurut dia sistem pendidikan itu tidak efektif untuk mencapai apa yg dia inginkan. Lantas dia meramu sendiri hal-hal yg dia butuhkan untuk itu. Tidak perlu mengambil pendidikan formal, dia menyusun kurikulum khusus untuk dirinya sendiri. Kurikulum pelajarannya juga tidak sepenuhnya fokus untuk goalnya itu. Di dalamnya masih dia selipkan pelajaran dasar seperti matematika dan fisika atau pelajaran lain seperti kesenian dan aktivitas outdoor.

Dari contoh-contoh tadi, saya mengamini kalau yang dibutuhkan anak-anak kita nanti bukan lagi sistem pendidikan yang menghasilkan manusia yg seragam. Saya kira nilai berpikir kritis dan dinamis kurang tertanam dengan baik di sistem pendidikan kita saat ini. Mungkin tidak akan lama lagi pekerjaan-pekerjaan kita akan diambil alih oleh robot atau teknologi otomasi sejenisnya. Maka dari itu, kita harus kembali lagi menciptakan pendidikan yang mengasah kreatifitas dan berpikir kritis karena itulah yang tidak akan dicapai oleh kemajuan teknologi. Setidaknya dalam waktu dekat ini.

Kemudian, yang lebih penting lagi adalah nilai empati dan rasa kemanusiaan. Itulah nilai yang juga sangat dibutuhkan, yang menjadikan kita sebenar-benarnya manusia. Dengan mengetahui pentingnya kesadaran untuk menyelesaikan masalah-masalah untuk kepentingan hidup bersama sejak dini, nantinya mereka akan menjadi orang-orang non-egois yg tidak hanya melihat kehidupan hanya tentang materi saja. Kita hidup bersama-sama, di bumi yang sama. Sudah menjadi kewajiban kita juga bahwa keberlangsungan bumi dan kehidupan kita menjadi tanggung jawab bersama. Baik saat ini maupun yang akan datang. 

 Sudah semestinya kita mempertimbangkan sistem pendidikan dengan pendekatan lain. Kalau tidak dapat menggantikan, setidaknya dapat menjadi pendampingan pendidikan. Nilai-nilai berpikir kritis dan kolaboratif harus semakin ditanamkan dalam pendidikan anak-anak kita ke depannya. Pesan yang harus disampaikan adalah untuk menjawab tantangan penyelesaian berbagai masalah yang ada di bumi ini. Tidak perlu juga mengeliminasi materi pendidikan dasar yang justru membangun pola pikir logis dan kritis. Karena hal itu dapat menjadi bekal dalam melihat dan menyelesaikan masalah. Selain itu, bukan lagi saatnya satu orang dapat melakukan banyak hal. Tapi, iklim kolaboratif harus terus dibangung. Yang musti diingat adalah goal untuk menyelesaikan permasalah. Apabila mendapati kesulitan, langsung dicari resource yang ada. Saya kira, ditengah-tengah arus informasi yang demikian mudah, tidak akan sesulit dulu jika ingin mencari sumber daya pengetahuan ataupun manusia. Apabila pola pendidikan seperti ini dikaji dan nantinya diterapkan dengan baik, saya menantikan untuk menyaksikan perubahan-perubahan baik di dunia ini yang dihasilkan oleh tangan-tangan generasi kita selanjutnya.a

Saturday, February 27, 2016

Apakah Kita Mencari Kebahagiaan?

Pernah sekali waktu, dalam perbincangan dengan kawan-kawan dekat saya, seorang teman berujar bahwa cita-cita dalam kehidupannya kelak adalah kehidupan yang bahagia. Sesederhana itu. Waktu itu, entah apa yang membawa kami kepada perbincangan semacam itu. Menjadi salah satu bahasan yang agak berat di saat kita sedang senang-senangnya menikmati masa muda.

Mengenai hal itu, saya sendiri tidak yakin apakah kawan saya ini telah mendapati kedalaman pemikiran bahwa tidak ada pencapaian yang lebih tinggi melainkan kebahagiaan dalam hidup. Atau memang karena masih di usia muda kami, yang belum tahu menentukan arah kehidupan, memang cenderung memilih jawaban sederhana. Saat itu sebagian yang lain dari kami menginginkan "ini" dan "itu" untuk dicapai di kehidupan mendatang. Goal akhirnya tetap pada kebahagiaan memang. Yang mana, bisa disimpulkan bahwa kebahagiaan ini adalah kebahagiaan yang tercipta lantaran pencapaian-pencapaian yang telah diinginkan itu tadi.

Topik mengenai kebahagiaan memang menjadi salah satu hal yang tak pernah habis untuk dibahas, digali dan dicoba untuk dicerna oleh siapapun. Untuk usia semuda itu tadi contohnya, kita mengkategorikan hal-hal yang terjadi pada diri kita sebagai kebahagiaan (hal yang membahagiakan) atau sebaliknya, bukan kebahagiaan. Demikian seterusnya, definisi kebahagiaan menjadi sangat relatif seiring berjalannya waktu dan perkembangan pola pikir. Serta, bersifat personal, tidak ada sangkut pautnya antara definisi kebahagiaan orang satu dengan yang lainnya. Seharusnya.

Kebahagiaan Sebagai Cita-Cita
Seiring berjalannya waktu, saya cenderung menyetujui penyataan teman yang saya sebutkan sebelumnya tadi. Lagi saya ulangi, bahwa saat sampai kepada hal-hal yang ingin kita raih, saat itulah kita dapati kebahagiaan. Berarti, apapun dan seberapa banyak yang kita punya, pada prinsipnya kita ingin bahagia karena hal yang diinginkan.
Relativitas kebahagiaan menjadi valid dalam konsep kebahagiaan sebagai cita-cita. Maksud saya, yang relatif itu adalah cita-citanya. Tiap-tiap orang menentukan menentukan cita-citanya masing-masing. Bisa jadi cita-cita merupakan sesuatu yang unik atau bisa juga memiliki kesamaan antara satu orang dengan orang lainnya. Misalnya, ada yang cita-citanya menjadi orang kaya, ada yang ingin sekolah setinggi-tingginya dan berbagai macam lainnya. Yang pasti, cita-cita, atau bahasa lebih sederhananya adalah keinginan, pasti dimiliki oleh setiap orang. Dan saat hal ini terwujud, disitulah kebahagiaan itu ditemui.

Namun kemudian, kebahagiaan itu bukan tentang pertemuan antara keinginan dengan apa yang pada akhirnya terjadi. Seringkali kita dengar bahwa orang mengejar cita-cita yang diinginkannya. Orang bekerja keras untuk mewujudkan apa yang diinginkannya itu. Dari sini kita bisa melihat bahwa pada akhirnya kitalah yang berusaha menciptakan kebahagiaan itu. Bukan lagi mencari. Usaha kita meraih hal yang kita inginkan itu pada dasarnya merupakan usaha kita untuk mewujudkan kebahagiaan kita. Kemudian pada akhirnya, sudut pandang kita bergeser, dari yang tadinya mencari menjadi mencipta. Dari yang tadinya sumber kebahagiaan itu secara total dari eksternal, menjadi tentang apa yang diusahakan, dari dalam diri, atas keinginan-keinginan  kita. Sampai sini, pandangan akan kebahagiaan telah berubah. Untuk kemudian, konsep kebahagiaan ini tetap bergerak seiring berjalannya waktu dalam pikiran mengikuti perkembangan waktu kehidupan saya.

Kebahagiaan Tidak Melulu Tentang Diri Sendiri
Menyadari bahwa sisi internal memiliki pengaruh dalam penciptaan kebahagiaan, pikiran saya mencoba mendalami tentang apa yang akhirnya bisa kita lakukan lebih jauh dari diri kita untuk mewujudkan kebahagiaan itu. Awalnya, fokus saya adalah mewujudkan keinginan-keinginan, yang sifatnya pribadi, dalam rangka meraih kebahagiaan untuk diri saya. Lantas saya berpikir, apa memang si "kebahagiaan" ini hanya tentang kehidupan saya sendiri.

Mencoba menelaah lagi, bahwa kadang kita memasukkan orang-orang yang kita sayangi menikmati kebahagiaan bersama kita. Menjadi bagian dari cita-cita kita. Akhirnya, kebahagiaan itu tidak hanya tentang diri kita. Tetapi juga bisa ada keterlibatan orang lain, orang-orang yang kita pilih atas dasar apapun.

Sementara pada awalnya penciptaan kebahagiaan dapat dilakukan mengusahakan penuh atas apa yang diinginkan, lantas kenapa tidak mendefinisikan hal-hal yang kita inginkan dengan lebih bijaksana. Kita punya kendali penuh atas pemikiran kita, keinginan-keinginan kita. Bisa saja yang kita mengubah level kebahagiaan kita dari yang memiliki rumah mewah dan mobil bagus, menjadi rumah sederhana saja dan diantar angkutan umum saja kemana-mana. Dengan menurunkan level keinginannya itu, tentu kebahagiaan akan lebih mudah dicapai, bukan?

Lalu, kombinasi antara keterlibatan orang lain serta kendali atas pemikiran kita, bermuara pada membuat orang lain bahagia agar kemudian kita turut berbahagia. Mungkin pernah kita dengar kutipan 
"Bahagia itu ketika kita mampu membuat orang lain berbahagia"
Kedua perpaduan tadi berbuah pada menurunkan level bahagia pribadi dan memperpanjang jangkauan keterlibatan orang lain dalam definisi kebahagiaan kita. Kalau pada awalnya semua-semuanya tentang diri kita, misalnya mau menjadi kaya atau ingin bergaya hidup mewah, level itu bisa diturunkan menjadi hidup yang berkecukupan saja. Tidak perlu lagi harus mengikuti gaya hidup yang kalau dituruti tidak akan ada habisnya. Di sisi lain, orang-orang yang masuk dalam "lingkaran" kebahagiaan kita, orang-orang yang kita cintai, kemudian diperluas lagi. Kalau tadinya hanya bahagia apabila keinginan diri sendiri dan orang-orang yang kita cintai terwujud, kemudian coba untuk mewujudkan keinginan orang-orang di luar sana. Kalau keberatan, ingat kembali bahwa kendali definisi kebahagiaan berada penuh di kepala kita. Jadi ini soal sudut pandang. Bagi yang sudah meresapi hal ini lebih dalam, inilah yang orang-orang bilang tentang kemanusiaan. Ketika mengkompromikan banyak ego diri tapi berdiri teguh demi kepentingan orang lain yang lebih membutuhkan atas apa yang bisa kita kerjakan untuk mereka, saya rasa itulah kemanusiaan sesungguhnya. Dan percayalah, saat mampu membantu orang lain yang membutuhkan, kebahagiaan itu memang betul akan muncul. Sampai di sini, kebahagiaan ini bukan lagi tentang diri kita saja.  Tetapi kenyataannya kita masih bisa mendapatkan kebahagiaan atas hal yang kita lakukan demi kebahagiaan orang lain. Atau memang, definisi kebahagian kita sudah berubah? Kalaupun iya, biarkanlah tetap seperti itu saja. Kalau hidup kita sudah bahagia, begitu pula kebahagiaan orang lain terwujud, bukankah itu lebih dari sebuah kemenangan?

Menjadi Bahagia Atas Apapun Yang Terjadi Pada Diri
Mengusahakan sekuat apapun demi meraih kebahagiaan masih memiliki celah bagi diri kita untuk merasa tidak bahagia. Diri kita masih rentan akan kesedihan, kekecewaan, atau keputusasaan di saat usaha kita tak kunjung mencapai kepada hal yang kita inginkan. Saya bukannya tidak memperbolehkan perasaan yang sebutkan tadi terjadi pada diri kita. Kalau menurut saya boleh-boleh saja karena itu hal yang manusiawi. Yang dikhawatirkan adalah ketika hal-hal tersebut tadi terlalu lama terjadi pada diri kita yang berujung pada kurangnya produktivitas atau berujung kepada stres atau depresi. Tentu saja hal itu harus diantisipasi.
Lantas saya pun menyadari, bahwasanya:
"Ini adalah tentang merasa bahagia dalam kondisi apapun yang kita hadapi"
Kehidupan memang begini adanya, tidak selalu yang baik-baik saja kita terima. Hal baik dan hal buruk sudah jadi satu paket keniscayaan. Menciptakan konsep kebahagiaan yang satu ini memang yang paling sulit. Saya pun menyadari ini sebagai konsep kebahagiaan yang paling sulit untuk direalisasikan. Semacam konsep kebahagiaan yang paling tinggi. Boleh jadi kita bisa bahagia lantaran menemukan hal-hal baik, yang kita inginkan tentunya, secara tidak terduga. Atau, barangkali kebahagiaan dapat kita raih seketika kita mewujudkan keinginan kita dengan usaha yang sungguh-sungguh. Namun seringkali, kita tidak siap apabila hal-hal yang kita takutkan justru menjadi kenyataan. Kondisi psikologi kita menanggapi tekanan tersebut dengan kurang baik. Kalau sampai masuk ke pusaran ini, lantas segala hal yang baik, dilupakan sudah. Padahal sudah seharusnya kita menarik keluar dari pikiran-pikiran tersebut.

Sekali lagi, konsep ketiga ini adalah titik paling sulit dalam memahami kebahagiaan. Saya sadari betul bahwa ini akan menjadi hal yang harus saya pelajari dari hari ke hari. Untuk itu, ada beberapa catatan sebagai pengingat untuk mencapai konsep ketiga ini. Pertama adalah tentang penerimaan. Menerima segala macam kondisi yang terjadi dalam hidup, bahwa ini semua terjadi karena kehendak-Nya, merupakan langkah pertama yang harus diambil ketika menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan. Ketika paham bahwa semua ini memang ditakdirkan untuk terjadi, pikiran kita akan sedikit lebih lunak atas permasalahan itu. Yang kedua adalah mensyukuri segala hal yang terjadi. Tidak hanya menerima, tetapi sadar betul bahwa tidak hanya hal baik yang musti disyukuri melainkan hal buruk juga. Banyak sekali yang menyampaikan bahwa syukur adalah kunci kebahagiaan. Tapi tidak mudah memang untuk senantiasa bersyukur sekalipun memahami kaitan antara syukur dan kebahagiaan. Melihat kembali hal-hal yang sudah diraih, hal-hal baik yang didapatkan, juga membantu mengingatkan bahwa adakalanya hidup tidak melulu tentang masalah. Hidup juga tentang hal-hal baik yang terjadi. Kita pun bisa ingat bahwa diri kita kuat menghadapi masalah yang ada sampai akhirnya tiba di kebaikan yang terjadi sesudahnya. Yang terakhir, bahwa apapun itu bisa menjadi pelajaran bagi hidup kita. Segala hal yang terjadi harus dijadikan pelajaran penting. Hal-hal baik musti diingat, begitu pula hal-hal yang kurang baik. Sehingga ke  depannya, kita dapat menggunakan pelajaran tersebut sebagai formula untuk meraih kebahagiaan-kebahagiaan kita. "Apapun yang terjadi pasti ada hikmahnya", demikian kata kebanyakan orang. Dan betul, jika pikiran kita paham untuk bisa menarik pelajaran atas apa yang terjadi, rasa takut akan hal-hal yang tidak diinginkan akan berkurang.

Ketiga konsep ini tidak harus berjalan masing-masing. Ketiganya harus dimaknai dalam setiap kejadian yang ada dalam hidup. Kita harus tetap bahagia dengan apa yang sudah didapatkan. Kita juga harus merasa bahagia dengan berbagi atas apa yang kita punya. Kita pun juga harus menikmati rasa bahagia dalam kondisi apapun, termasuk pada kondisi yang menurut kita tidak baik sekalipun.

Berbicara tentang kebahagiaan, semua orang pada akhirnya merumuskan dengan caranya masing-masing. Terutama sekali untuk poin yang ketiga, tanpa harus mengesampingkan kedua poin sebelumnya. Semoga kita selalu bahagia apapun keadaan diri kita. Bukan hanya dalam kata tetapi diresapi dalam pikiran dan jiwa.